1. Geografis
Keresidenan Batavia terletak di bagian timur keresidenan Banten, Batavia didirikan pada tahun 1619 oleh J.P.Coen yang awalnya bernama Jayakarta. Batavia didirikan oleh pedagang Belanda. Letak Batavia sangat strategis yang menguasi pintu masuk perdagangan di Selat Sunda. Bagian utara keresidenan Batavia adalah dataran rendah berawa, beberapa daerah yang bebas banjir sudah dihuni penduduk Betawi.
Luas Batavia mencapai 11.660 Km. Ke arah selatan didomonasi dataran rendah subur menentang luas sampai ke dataran rendah tinggi yang berpusat di gunung gede. Bagian utara yang subur merupakan persawahan dan tanaman kelapa, sedangkan di selatan dijadikan perkebunan kopi, coklat, kacang, buah-buahan, kayu dan lain-lain. Bagian selatan merupakan tanah partikelir yang banyak menimbulkan keresahan sosial dan perbanditan.
Selain kota Batavia sebagai bandar internasional, kota ini mempunyai jaringan transportasi dengan pedalaman yang mengangkut produksi perkebunan.
2. Struktur Masyarakat
Di dalam masyarakat Banten walaupun tidak dijelaskan adanya stratifikasi tetapi dalam masyarakat setempat mengenal istilah undakan yang menunjukkan stratifikasi masyarakat. Di dalam masyarakat itu dikenal pembagian golongan masyarakat bimodal. Di satu pihak adalah golongan atas yang jumlahnya lebih kecil yang terdiri dari kaum elit birokrat dan bangsawan digolongan priyayi. Di pihak lain terdapat golongan janma leutik sebagai golongan bawah, jumlahnya besar sekali dan mereka terdiri dari petani, tukang, pedagang, buruh dan artisan. Petani digunakan untuk menyebut lapisan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang bercocok tanam, tukang dan pedagang.
Secara tradisional golongan sosial yang menduduki tempat tertinggi adalah kerabat sultan, sebagai golongan sosial yang berkuasa secara turun-temurun, meraka adalah bangsawan kesultanan banten. Akan tetapi karena makin menipisnya darah bangsawan atas dan bawah. Golongan kedua hanya menggunakan gelar raden. Di bawah mereka adalah kedudukan yang ditempati oleh elit birokrat kesultanan Banten termasuk pula para penghulu agama yang telah menduduki status formal. Dibawahnya ada golongan yang disebut golongan mardika atau kaum yang secara rela masuk islam disebut golongan utangan mereka mempunyai tugas khusus sebagai prajurit yang memerangi bajak laut. Sultan menduduki puncak hirarkhi yang secara turun-temurun adalah kepala aristokrasi yang berkuasa, karena sultan dan kerabatnya menduduki tingkat atas dalam masyarakat maka mereka berhak mendapat tanah, pusaka kewargaan atau kanayakan dan mereka berhak atas kerja bakti dan upeti dari rakyat. Keturunan sultan sampai generasi ketiga disebut warga dan keturunan yang makin jauh lagi dari sultan disebut nayaka, mereka memakai gelar yang berbeda-beda menurut hirarkhi kedudukannya.
Dalam perjalanan masyarakat Banten juga mengalami mobilitas sosial, khususnya setelah dihapuskannya kesultanan Banten. Pada waktu itu pemerintah kolonial mulai merekrut birokrat kolonial rendahan dengan tugas tertentu seperti penarik pajak, juru tulis dan lain-lain. Jumlah mereka semakin banyak jika di bandingkan dengan dengan jumlah bangsawan.
Dipihak lain golongan bawah yang terdiri dari petani, pedagang, buruh dan juga golongan abdi yang sangat setia kepada gusti. Di antara para bangsawan rendahan dan mereka yang tinggal jauh dari pusat kesultanan dimasukkan kedalam golongan ini termasuk pemimpin agama setempat.
3. Tokoh Bandit Sosial (Entong Gendut dan Entong Olo)
Entong Gendut, jagoan Betawi dari Condet, Batavia. Merupakan salah satu bandit sosial yang ada di Batavia. Dia sangat benci akan perlakuan pemerintah colonial di Batavia. Dia anti terhadap tuan tanah di Batavia, yang memungut pajak terlampau tinggi, yang membuat masyarakat di Batavia menderita terutama di daerah tempat dia tinggal.
Pada 7 Maret 1916 Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi kediaman Taba, petani yang berhutang pada seorang tuan tanah menyita harta banda miliknya, kemudian dijual dengan harga 7,20 gulden yang merupakan harga yang sangat rendah ukurannya waktu itu membuat, Enting Gendut turun tangan Ia beserta 50 pengikutnya memagar betis kediaman Taba yang tak berdaya. Asisten Wedana pun pulang dengan tangan kosong.
Lain waktu, Entong Gendut pun kembali melancarkan aksinya pada saat Nyonya Van der Vasse Rollinson di Vila Nova mengadakan pertunjukan topeng. Ia bersama pengikutnya membubarkan pertunjukan dan pesta yang diselenggarakan di rumah perempuan Belanda itu. tak berhenti di sana, Entong Gendut cs pun melempari rumah DC Ament, tuan tanah di Tanjung Timur.
Pembelaan Entong Gendut kepada para petani korban eksploitasi tuan tanah itu membuat pemerintah kolonial geram. Namun demikian keberpihakannya pada rakyat kecil membuatnya digelari Raja Muda yang selalu didampingi delapan patihnya. Dalam catatan pemerintah kolonial tentu saja Entong Gendut ditulis sebagai penjahat yang selalu membuat kekacauan. Namun di mata penduduk yang dibelanya, ia seorang pahlawan yang mati Syahid.
Sebelum perlawanan Entong Gendut, pemerintah kolonial dalam arsip-arsipnya juga melaporkan adanya perlawanan yang dilakukan oleh penduduk Batavia pimpinan Entong Tolo. Tolo terkenal sebagai bandit yang kerap membagi-bagi hasil rampokannya dan selalu membantu penduduk di Jatinegara, Batavia pada kurun tahun 1904-1908. Sehari-hari Tolo bekerja sebagai pedagang di Pondok Gede, kemudian di jatinegara.
Semasa hidupnya ia selalu berpindah-pindah, menghindari kejaran polisi yang menuduhnya karena selalu membuat onar. Tolo memang licin bak belut. Ia selalu bisa menghindari kejaran polisi karena penduduk yang berpihak padanya selalu menutup-nutupi keberadaan Entong Tolo. Tentu saja penduduk punya alasan kuat untuk melakukan itu karena Entong Tolo bak “Robin Hood” yang kerap membantu mereka.
Keberpihakan itu membawa keuntungan bagi Entong olo. Pada 1906 ia terlibat sebagai dalang utama sekaligus memimpin aksi perampokan di rumah Gorin. Polisi yang berhasil menangkap Tolo. Namun polisi kesulitan untuk mengadilinya karena tak seorang penduduk pun mau bersaksi atas segala kejahatan yang dilakukannya. Tanpa pengadilan Tolo dijebloskan ke penjara dan situasi keamanan pun kembali pulih sampai kemudian ia dibebaskan. Ketika bebas ia kambuh lagi, dan melakukan aksi perampokan yang lebih ganas terhadap tuan-tuan tanah. Ketika ditangkap, Residen Batavia memutuskan agar Entong Tolo dibuang ke Manado. Di sana ia hidup sebagai orang buangan dengan tunjangan dari pemerintah colonial 10 gulden perbulannya.
Sumber
Suhartono “Bandit-bandit di pedesaan jawa : Study Historis 1850-1942”
mantap,gan