A. Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah merobah paradigma pendidikan dari kegiatan guru menjadi orientasi kegiatan siswa, dan serta dari hafalan kepada kemmpuan aplikatif ke lingkungan kehidupan siswa. Akibat dari perubahan ini telah berimplikasi pada arah pembuatan tujuan pembelajaran pada setiap pertemuan, materi ajar, pendekatan, serta sistem evaluasi. Satu persatu disajikan pelaksanaannya dalam pembelajaran sejarah.
B. KEGIATAN BELAJAR
1. 1. Tujuan Pembelajaran Sejarah
Tahun 2006 menjadi tonggak perubahan kurikulum nasional dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Standar Isi (Permendiknas No. 22 Th. 2006) memuat tujuan setiap mata pelajaran, kemudian diikuti oleh Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Mata pelajaran sejarah sebagai satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah menengah telah mengalami perubahan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Hal ini terlihat dari tujuan pembelajaran Sejarah SMA sebagai berikut:
a. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang menyebabkan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara luas dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metode keilmuan.
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.
Lima tujuan di atas dapat disederhanakan menjadi beberapa karakteristik, diantaranya berusaha membentuk siswa:
1. Berfikir proses gerak perubahan.
2. Berfikir logis tiga dimensi waktu (lampau, sekarang, dan akan datang).
3. Berfikir kritis.
4. Kesadaran terhadap nilai-nilai peninggalan sejarah serta menghargainya.
5. Memiliki rasa bangga dan cinta tanah air
Setidaknya ada tiga dimensi yang ditugaskan kepada guru sejarah di sekolah. Dimensi pertama berkaitan dengan keterampilan berfikir, dimensi kedua berkaitan dengan pengembangan sikap, dan dimensi ketiga, berkaitan dengan pemahaman peristiwa masa lampau itu sendiri. Dimensi-dimensi ini akan tertuang dalam kegiatan belajar, sekurang-kurangnya akan mencapai SK dan KD yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (Permendiknas No. 22 Th. 2006).
Kaitan tujuan pembelajaran dengan SK dan KD merupakan hirarkhi tujuan yang harus dicapai melalui pembelajaran. Guru mulai menetapkan indikator sebagai penunjuk keberhasilan yang dioperasionalkan dalam pembuatan tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, indikator dan tujuan pembelajaran yang masih dominan memakai kata kerja mendeskripsikan, mengidentifikasi, menjelaskan, mengklarifikasi, dan sebagainya, yang belum mampu untuk mengembangkan keterampilan berpikir anak.
Dari segi pembelajaran, tuntutan akhir dari tujuan diatas akan dapat tercapai bila kegiatan pembelajaran dilakukan melalui latihan berpikir dalam artian yang lebih spesifik. Melalui latihan berpikir ini akan berkembang berbagai keterampilan berpikir sejarah dan penerimaan nilai-nilai masa lampau. Keterampilan yang dapat dikembangkan diantaranya adalah menterjemahkan, menafsirkan, menerapkan, menghubungkan, menilai, menganalisis, dan menyimpulkan (Dennis Gunning, 1978).
Menerjemahkan berarti memberi arti pada suatu kata sehingga seseorang mengerti apa maksud kata tersebut dengan bahasanya sendiri. Kegiatan penerjemahan dilakukan terhadap konsep yang sedang dipelajari. Nyatanya dalam pembelajaran sejarah banyak sekali anak menemukan konsep-konsep, dan konsep-konsep tersebut harus dipahaminya dengan arti sesuai dengan karakteristiknya. Untuk ini, tujuan pembelajaran harus diarahkan kepada pengertian konsep, seperti konsep “kehidupan, kerajaan, perang”, dan sebagainya.
Menafsirkan berarti memberi arti lain dari pemahaman fakta yang dipelajari, atau anak dapat memberi makna terhadap berbagai fakta. Suatu contoh, Sentot Ali Basya pada mulanya menjadi pimpinan pasukan Diponegoro, kemudian bergabung dengan pasukan Belanda yang memerangi pasukan Paderi. Untuk hal ini, dapat diminta pendapat anak mengenai pekerjaan tindakan Sentot tersebut.
Menerapkan adalah mengaplikasikan sesuatu pada kasus lain. Materi yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah materi pelajaran mengenai konsep ataupun sebab-akibat. Materi konsep dapat dicontohkan pada kehidupan sekarang karena konsep tersebut lintas waktu dan tempat. Seperti menerapkan konsep pahlawan pada seorang Lurah atau Kepala Desa, apakah Lurah atau Kepala Desa tersebut juga dapat disebut pahlawan? Jawaban iya atau tidak tergantung pada ciri-ciri fakta yang dibangun untuk konsep pahlawan tersebut.
Sedangkan materi sebab akibat dapat diterapkan ke kasus lain dengan memakaikan konsep yang mengantarai sebab dengan akibat. Seperti mempelajari sebab dikuasai wilayah Minang oleh penjajah, sebab antara adalah konflik kepentingan bersaudara antara Kaum Adat dengan Kaum Paderi. Sebab-akibat ini dapat diaplikasikan pada kehancuran dua orang bersaudara dalam memperebutkan harta warisan dengan memakai jasa tenaga sewaan.
Menganalisis merupakan keterampilan menghubungkan berbagai komponen dengan sistematis dan logis. Keterampilan ini dapat digunakan antar konsep yang berelasi yang melahirkan sebab-akibat. Baik relasi antar peristiwa yang mendahuluinya atau berbagai peristiwa yang semasa atau sezaman. Unsur analisis dapat dilakukan dengan menemukan komponen kunci yang mengakibatkan mengapa sebab melahirkan akibat. Seperti menjelaskan hubungan antara kejatuhan Kerajaan Majapahit dengan masuknya pengaruh Islam di pantai utara Jawa. Betapa banyak sebab-akibat dalam setiap gerak perubahan yang menjadi pusat perhatian dalam belajar, baik sebab diakronik maupun sebab sinkronik.
Sintesis merupakan penarikan kesimpulan dari berbagai peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut didapatkan melalui penarikan karakteristik yang sama dari berbagai peristiwa sehingga melahirkan suatu pola. Suatu contoh menemukan pola kehidupan masyarakat awal dunia di wilayah perairan sungai.
Penilaian merupakan tingkat berpikir tertinggi yang dimiliki seseorang. Nilai didasarkan oleh sejumlah kriteria pada karakteristiknya yang dimiliki oleh sesuatu. Umumnya dapat digunakan pada berbagai pendapat yang dibuat oleh seseorang. Seperti menilai pendapat antara Hatta dan Soekarno mengenai bentuk negara di awal kemerdekaan, manakah yang lebih bagus?
2. Materi Sejarah
Secara umum, materi keilmuan terdiri dari unsur fakta, konsep, prinsip atau sebab-akibat, dan prosedur. Fakta diartikan sebagai sesuatu kejadian seperti apa adanya, ia dapat merupakan gerak atau aktivitas, bunyi, benda, bau, rasa, dan benda. Artinya memungkinkan untuk dilihat, didengar, diraba, dirasa, atau dicium. Dalam khasanah keilmuan ia menjadi bahan mentah yang dikonstruk atau diolah oleh manusia menjadi konsep, sebab-akibat, dan bahkan ada yang berada pada tahap prosedur.
Sejarah sebagai bagian dari ilmu sosial juga memiliki karakteristik demikian. Materi utamanya adalah fakta. Oleh karena sejarah memiliki rentangan waktu yang sangat panjang, maka mengenal faktanya cukup sukar, bahkan ada diantaranya hanya melalui bukti-bukti benda atau pisik seperti dalam masa pra-sejarah, ada yang melalui tulisan, dan akhirnya ada yang melalui memori atau kenangan seseorang. Fakta tersebut tidak akan bermakna bila tidak dikontruksi manusia atas beberapa bentuk, baik berupa pemaknaan, penafsiran, analisis, atau kesimpulan. Rentang waktu yang begitu jauh menyebabkan sebagian fakta diragukan kebenarannya, terutama yang didasarkan bukti-bukti benda disebut dengan fakta lunak. Semakin dekat ke masa sekarang semakin mudah menemukan fakta yang sesungguhnya, atau yang disebut dengan fakta keras.
Dalam mempelajari sejarah, pada hakekatnya membicarakan fakta dan pendapat pengarangnya. Di sini mulai terjadi berbagai problem, berawal dari fakta yang digunakan, apakah si pengarang menggunakan fakta lunak atau fakta keras, apakah dia menggunakan sedikit atau banyak fakta dalam menarik kesimpulan, apakah dia memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat konsep, menafsirkan, memberi contoh, menganalisis, membuat kesimpulan dan sebagainya. Pada sisi lain harus diyakini bahwa ilmu apapun hanyalah bersifat kebenaran sementara, artinya benar untuk ukuran sekarang tetapi belum tahu untuk masa yang akan datang, terutama disebabkan oleh munculnya fakta baru yang memungkinkan kesimpulan bisa berubah. Apalagi ilmu sejarah yang memiliki fakta jauh di masa silam, yang sangat terbuka kemungkinan terjadinya penemuan-penemuan fakta baru. Jika seorang guru sangat terfokus mengajar materi suatu buku maka tak lebih pekerjaannya sebagai “pemerkosa” pikiran anak untuk menghafal pendapat pengarang yang kebenarannya dapat berubah.
Pada sisi lain, karakteristik materi sejarah direkontruksi dalam suatu gerak atau proses. Secara umum, gerak akan mengalami proses dari kelahiran, berkembang, bertahan, mundur, dan berakhir. Namun dalam kasus-kasus tertentu peristiwa sejarah berbagai pola gerak yang terjadi tidak sama, mungkin mulai dari lahir, bertahan, ataupun dalam berkembang terjadi suatu kemunduran, dan kemudian berkembang lagi. Perbedaan pola gerak ini sesuatu yang pantas, tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah perubahan itu sendiri sebagai sesuatu yang karakteristik khususnya, meliputi bukti, tahun, tempat, pelaku, sebab, dan seterusnya.
Kehadiran KTSP mengingatkan kembali bahwa yang terbaik dilakukan oleh guru adalah melatih anak berpikir berdasarkan peristiwa-peristiwa masa lampau tersebut. Hasil nyata yang diperolehnya adalah terampil berpikir yang dapat digunakan untuk kehidupannya sehari-hari, bahkan dia dapat menjadi seorang sejarawan kecil
3. Strategi dan Media Pembelajaran
Secara umum dikenal pendekatan pembelajaran atas pendekatan pemberian informasi dan penemuan informasi. Sesuai dengan karakteristik kurikulum KTSP telah menempatkan perubahan peran guru dari pemberi informasi menjadi pembimbing anak untuk menemukan informasi. Untuk itu metode dominan ceramah harus ditukar ke arah metode diskusi, tanya jawab, praktikum atau sejenisnya yang memungkinkan anak berlatih mencari, menggali, menemukan sendiri, dan pada gilirannya mampu menerapkan dalam kehidupannya.
Faktor utama yang berperan atas kelangsungan proses belajar di atas adalah ketersediaan bahan ajar beserta media yang relevan. Berkaitan dengan ini, banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang media, namun jika dikalsifikasikan perbedaan mereka terdapat pada titik pandang. Umpamanya Rossi dan Breidle (dalam Wina Sanjaya, 2007:161) mengemuakakan bahwa media adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan, dan ada beberapa ahli lain menekankan pada perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projctor, radio, televisi, dan sebagainya. Sedangkan perangkat lunak adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan cetak lainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram, dan lain-lain.
Tujuan utama pemakaian media adalah agar pembeajaran menjadi jelas dan efektif dan membantu menjelaskan bahan lebih realistic (Hartono, dalam Depdiknas, 2005). Dengan demikian, salah satu tugas guru yang tidak kalah pentingnya adalah mencari dan menentukan media pembelajaran. Dalam pelajaran sejarah, mencari dan menentukan sumber belajar sangat penting karena bahan ajarnya merupakan peristiwa masa lalu yang bersifat abstrak.
Disamping itu, menurut Nasution (1986:96) penggunaan media pembelajaran akan mengurangi verbalisme dan merupakan alat bantu yang dapat mempermudah proses penerimaan materi pelajaran yang disampaikan guru dan sudah barang tentu akan mempermudah pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran. Hal ini disebabkan siswa akan lebih termotivasi dalam mempelajari materi yang dibahas.
Depdiknas (2005) mengungkapkan bahwa secara klasik media pembelajaran dibagi berdasarkan jenis materinya, meliputi materi bacaan dan materi bukan bacaan.
Lebih lanjut Depdiknas (2005) mengemukakan bahwa para ahli (Edgar Dale, Burton, Romiszowski) berbagai jenis media pembelajaran dengan kriteria yang berbeda-beda. Edgar Dale (1960) mengemukakan jenis media yang terkenal dengan istilah kerucut pengalaman, yaitu: 1) pengalaman langsung, 2) pengalaman yang diatur, 3) dramatisasi, 4) demonstrasi, 5) pameran, 6) pameran, 7) gambar hidup, 8) rekaman, radio, gambar mati, 9) lambang visual, 10) lambang verbal. Berdasarkan 10 pengalaman tersebut, dapat belajar dengan: mengalaminya secara langsung dengan melakukannya atau berbuat (nomor 1 s/d 5); mengamati orang lain melakukannya (nomor 6 s.d 8); dan membaca atau menggunakan lambang (nomor 9 s.d 10).
Hampir sejalan dengan Edgar Dale, Burton (dalam Nasution, 1989) membagi media berdasarkan pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung. Pengalaman langsung yaitu turut melakukan dan mengalaminya. Sedangkan pengalaman tidak langsung dilihat berdasarkan pengamatan langsung (seperti melihat peristiwa yang terjadi dan peristiwa yang dipentaskan), berdasarkan gambar (melihat film dan foto), berdasarkan lukisan (menggunakan peta, diagram, grafik dan sebagainya), berdasarkan bahasa (membaca uraian dan mendengar uraian), dan berdasarkan lambang seperti lambang istilah, rumus dan indeks.
Sedangkan Romiszowski (Depdiknas, 2005) mengemukakan bahwa media dapat diartikan dalam pengetian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian sempit, media meliputi sejumlah alat yang dapat digunakan secara efektif untuk proses pengajaran yang telah direncanakan. Sedangkan dalam pengertian luas, diartikan bukan hanya media komunikasi elektronik yang rumit malainkan juga mencakup sejumlah perangkat yang lebih sederhana sperti slide, photo, diagram, da chart buatan guru, benda-benda dan kunjungan ke tempat di luar sekolah. Bahkan guru pun dapat menjadi salah satu media presentasi seperti halnya radio dan televisi yang menyampaikan informasi.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dalam pembelajaran sejarah sangat besar arti penggunaan media, karena materi yang dibicaraan jauh dari dunia anak, terutama karena karakteristik materinya masa lampau. Dalam pembelajaran sejarah, media sangat diperlukan untuk menkonkritkan fakta-fakta yang terletak pada setiap perubahan gerak sejarah.
Secara umum telah dikemukakan dari berbagai literatur bermacam-macam media yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah, seperti peta, globe, benda-benda peninggalan sejarah, diorama, gambar, slide, film strip, film bergerak, grafik, lukisan dan sebagainya. Namun pemilihan salah satu alat ini harus sesuai dengan fakta / peristiwa yang ingin ditampilkan.
Dalam hal ini sejumlah fakta sejarah yang umumnya dikemukakan dalam suatu peristiwa sejarah berkaitan dengan prilaku orang, pelaku, tempat, perubahan di bidang ekonomi, di bidang benda atau teknologi. Jika fakta yang ingin ditampilkan adalah tentang prilaku tidak ada jalan lain harus menggunakan media film. Menunjukkan prilaku atau perubahan teknologi harus berupa gambar. Untuk menunjukkan tempat tertentu atau wilayah kekuasaan dengan menggunakan peta, atlas, atau globe. Sedangkan untuk menunjukkan perubahan pendapatan di bidang ekonomi lebih relevan menggunakan grafik.
Berdasarkan uraian di atas, banyak sekali media yang harus digunakan oleh guru sejarah agar pembelajaran berjaan dengan efektif, yaitu seluruh fakta yang terdapat pada setiap gerak sejarah seperti fakta pada gerak awal, perkembangan, mundur, dan habis.
4. Evaluasi Pembelajaran
Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang konsep evaluasi atau penilaian. Namun dari beberapa definsi tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian pada dasarnya adalah menepatkan seseorang pada kedudukan tertentu sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Untuk itu, suatu penilaian harus berasal dari alat ukur yang tepat, dapat dipercaya, dan memiliki kriteria yang jelas. Dalam hal ini kita kenal istilah validitas, reliabelitas, standar PAN (Patokan Acuan Norma) dan PAK ( Patokan Acuan Kriteria).
Secara umum alat penilaian yang digunakan dibagi atas tes dan non tes. Tes diartikan suatu usaha yang dilakukan untuk mengukur kemampuan seseorang, seperti kemampuan kognitif, ketermapilan dan sebagainya. Sedangkan Non Tes digunakan untuk mengetahui sikap dan prilaku seseorang, seperti sikap sebagai akibat dari pembelajaran, atau prilaku seseorang dalam proses pembelajaran.
Dari segi cara mengkomunikasikan, tes dibedakan atas tes tertulis dan tes lisan. Bentuk tes tertulis seperti tes essay, dan objektif ( pilihan ganda, betul-salah, mengisi titik-titik, menjodohkan, pilihan ganda berganda, hubungan sebab-akibat, dsb). Namun yang sering dipakai di sekolah-sekolah dewasa ini adalah tes objektif pilihan ganda dan tes uraian.
Sedangkan pada bidang non tes yang sering digunakan adalah skala sikap, rating scale, format penilaian proyek, format penilaian produk, format penilaian produk, dan daftar check List.
Pada sisi lain, kurikulum yang berlaku sekarang (kurikuum KTSP) menuntut dilakukan penilaian kelas. Penilaian kelas diartikan sebagai suatu usaha untuk mendapatkan gambaran siswa secara kontiniutas dan komprehensif. Kontiunitas berarti berkelanjutan secara terus menerus setiap waktu, sedangkan komprehensif bermakna mencakup seluruh aspek kompetensi siswa yang terdiri dari proses belajar, kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Penilaian proses belajar berkaitan dengan paradigma bahwa dalam kegiatan belajar kegiatan utama terletak pada siswa, siswa yang secara dominan berkegiatan beajar mandiri dan guru hanya melakukan pembimbingan. Dalam konteks ini guru harus memantau berbagai kesukaran siswa dalam proses belajar tersebut setiap pertemuan. Sedangkan untuk mengukur hasil belajar dilakukan ulangan harian, tengah semester, dan akhir semester.
Pada dasarnya, penilaian kelas mempunyai fungsi dan kegunaan sebagai berikut:
1. Alat penilaian disusun dalam rangka menciptakan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan kemampuannya.
2. Laporan kemajuan belajar siswa merupakan sarana komunikasi dan sarana kerja sama antara sekolah dan orang tua, yang bermanfaat bagi kemajuan belajar siswa maupun pengembangan sekolah.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ciri penilaian kelas adalah sebagai berikut
1. Proses penilaian merupakan bagian integral dari proses pembelajaran
2. Strategi yang digunakan mencerminkan kemampuan anak secara autentik
3. Penilaiannya menggunakan acuan patokan atau criteria. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi siswa.
4. Memanfaatkan berbagai jenis informasi
5. Menggunakan berbagai cara dan alat penilaian.
6. Menggunakan system pencatatan yang bervariasi
7. Keputusan tingkat pencapaian hasil belajar berdasrkan berbagai informasi
8. Bersifat holistis, penilaian yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Di samping ujian, ada berbagai bentuk dan teknik yang bisa dilakukan dalam penilaian kelas, yaitu penilaian kinerja (performance), penilaian penugasan (proyek atau project), penilaian hasil kerja (produk atau peoduct), penilaian tertulis (paper dan pen), penilaian portopolio (portfolio), Checklist, dan penilaian sikap.
Tindak lanjut dari penilaian proses pembelajaran ( jika memperoleh hasil yang kurang memuaskan) dilakukan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK). Berarti seorang guru berusaha mendiagnosa penyebab kesukaran anak didik dalam proses belajar tersebut, pada gilirannya menemukan suatu cara seagai solusi permasalahan tersebut. Inilah yang menjadi cikal bakal PTK bagi seorang guru. Berbeda halnya dengan kegiatan ujian, jika seorang guru menemukan anak didik tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) maka solusinya adalah melakukan pembelajaran remedial.
Pengembangan alat ukur untuk penilaian proses ini pada dasarnya sama dengan pembuatan kisi-kisi pada pembuatan soal ujian. Langkah utama adalah menetapkan indikator pencapaian. Suatu contoh dalam pembelajaran sejarah menggunkan model struktur, indikator yang dapat digunakan adalah menemukan gerak perubahan peristiwa, menemukan fakta setiap gerak perubahan dalam bacaan, membuat konsep untuk setiap fakta, menemukan sebab-sebab setiap terjadi perubahan, melakukan analisis setiap hubungan sebab terhadap perubahan, memberikan contoh atau meramal, dan menemukan nilai. Berdasarkan indikator-indikator ini dikembangkan deskriptor sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Untuk keperluan ini dibuat tabel sebagai berikut:
Materi Pembelajaran : Kerajaan Majapahit
No | INDIKATOR | DESKRIPTOR |
1 | Menemukan fakta |
1. Fakta berdiri Kerajaan Majapahit 2. Fakta perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Fakta mundur Kerajaan Majapahit 4. Fakta runtuh Kerajaan Majapahit |
2 | Membuat Konsep |
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit 2. Konsep dari fakta perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit 4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit |
3 | Menemukan Sebab | 1. Sebab dari berdiri Kerajaan Majapahit 2. Sebab dari perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Sebab dari mundur Kerajaan Majapahit 4. Sebab dari runtuh Kerajaan Majapahit |
4 | Menganalisis |
1. Sebab dari berdiri Kerajaan Majapahit 2. Sebab dari perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Sebab dari mundur Kerajaan Majapahit 4. Sebab dari runtuh Kerajaan Majapahit |
5 | Memberi Contoh |
1. Sebab dari berdiri Kerajaan Majapahit 2. Sebab dari perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Sebab dari mundur Kerajaan Majapahit 4. Sebab dari runtuh Kerajaan Majapahit |
6 | Menemukan Nilai |
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit 2. Konsep dari fakta perkembangan Kerajaan Majapahit 3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit 4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit |